HAK ASASI MANUSIA
A.
Pengertian
HAM
Secara harfiah yang
dimaksud oleh Hak Asasi Manusia adalah
pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi manusia merupakanhak dasar secara kodrati
melekat pada diri manusia yang bersifat universal dan langgeng. Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).Sejalan dengan hak tersebut, Randlong
Naning, seorang pengacara meyatakan bahwa ; “hak asasi manusia adalah hak yang
melekat pada martabat manusia, yang melekat badannya, sebagai insan ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa atau hak dasar yang dimiliki manusia menurut kadarnya, yang
tidak dapat dari hakikatnya, karena hak asasi manusia bersifat luhur dan suci”
(Naning: 1983)
Penjabaran hak asasi
manusia harus mencakup aspek kehidupan manusia,ataupun kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara yang mengacu pada IPOLEKSOSBUDDHANKAM yang dijiwai
nilai luhur pancasila.Hal ini sangat penting karena keanekaragaman Hak Asasi Manusia
atau macam-macam HAM seperti sebagai berikut :
Macam-macam Hak Asasi
Manusia (HAM) :
a.
Hak
Asasi Pribadi (Personal Rights)
1)
Setiap orang bebas memilih agama dan
menjalankan ajarannya
2)
Hak untuk berbicara dan mengemukakan
pendapat
3)
Hak untuk hidup
b.
Hak
Asasi Manusia di bidang politik (Political Rights)
1)
Hak pilih dan dipilih dalam pemilu
2)
Hak mendirikan partai politik dan
anggota partai politik
3)
Hak dalam pemerintahan
c.
Hak
Asasi Manusia dalam bidang ekonomi (Economical Rights, Property Rights)
1)
Hak memperoleh pekerjaan layak dan
penghasilan
2)
Hak jaminan keselamatan kerja,
kesehatan,keamanan, dan ketenangan
3)
Hak jaminan hari tua, jaminan social
yang sah, dan kesejahteraan
4)
Hak untuk cuti tanpa pengurangan upah
d.
Hak
Sosial Budaya (Social and Cultural Rights)
1)
Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran
2)
Hak untuk pengakuan dan perlindungan di
bidang keilmuan dan teknologi
3)
Hak cipta untuk disebarluaskan melalui
media
4)
Hak untuk memajukan dan mengembangkan
ilmu, teknologi, dan seni.
e.
Hak
Asasi Budaya (Rights of Legal Equality)
1)
Hak persamaan hukum dan pemerintahan
f.
Hak
mendapatkan perlakuan yang adil (Procedur Rights)
g.
Hak
Asasi di Bidang Kemanusian (Humanity Rights)
1)
Tidak seorangpun boleh diperbudak
2)
Hak untuk tidak diperlakukan secara
sewenang-wenang
3)
Hak untuk diperlakukan secara manusia
4)
Hak untuk hidup dan melangsungkan
kehidupannya selaras dengan martabatnya sebagai manusia
h.
Hak
Asasi Manusia di bidang Hankam (Defence and security Rights)
1)
Hak dan kewajiban pembelaan negara
2)
Hak untuk kehidupan yang aman dan tertib
3)
Hak meminta perlindungan pada yang
berwajib apabila dalam keadaan terancam
4)
Hak untuk meminta suaka kepada negara
manapun
B.
Perkembangan
HAM di Indonesia
Berbeda dengan
di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak
asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum
bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau
golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan
bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak
masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama.
Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.
Dengan demikian
sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa
dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan
tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan
bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan
manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya
(sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada
dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja
di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu
menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang
ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah
panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan
kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad
XVI.
Hingga kemudian
diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD
pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi
negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM
sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan
Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain.
Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam
UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan.
Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM
secara eksplisit.
Sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD
negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di
dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban
yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan,
pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi
individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa.
Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia
Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu. Sedangkan
istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai
dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya.
Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan
kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD
1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia
dicantumkan secara tegas.
Dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945
menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi
manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah
konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi
manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut
terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh
Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The
Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit
Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS
1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang
mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang
tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun
1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945
dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam
masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila
dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan
politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini
mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama.
Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM,
yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan
Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad
Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun
rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan
Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan
Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab” dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya.Secara historis
pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu
secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu
implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan
konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM,
karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme
yang secara ideologis tidak diterima.
Perkembangan
selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan
HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan
deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana
pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi,
melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi
tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM
sebagai fokus pembangunan.
Guna lebih
memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai
kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat
diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia
atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam
UUD 1945.
Akhirnya
ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan
dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yang berlangsung
dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4
tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No.
XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut
menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999. Undang-Undang ini
kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.
Sebagai bagian
dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No.
165.
Di samping itu,
Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur
HAM, antara lain:
·
Deklarasi tentang Perlindungan dan
Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
·
Konvensi mengenai Hak Politik
Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
·
Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun
1984.
·
Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak,
melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
·
Konvensi tentang Ketenagakerjaan,
melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
·
Konvensi tentang Penghapusan Bentuk
Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.
Komentar
Posting Komentar